NAMA Jan Koum tak bisa dipisahkan dengan WhatsApp. Maklum
dialah yang membesut kelahiran WhatsApp bersama Brian Acton. Nama Jan
mendadak membungbung tinggi, saat Facebook mengakuisisi WhatsApp dengan
nilai yang sangat fantastik. WhatsApp yang didirikan pada 2009 dibeli
senilai US$ 19 miliar atau sekitar Rp 282 triliun. Dan, Jan masuk dalam
jajaran dewan direksi Facebook.
Tak hanya nilai fantastik
itulah yang dicatat orang. Tapi kisah hidup Jan yang menarik orang
untuk berdecak kian kagum. Betapa tidak, pria yang kini mengantongi
kekayaan sekitar US$ 6,8 miliar itu, terlahir dari keluarga yang sangat
sederhana di Kiev, Ukraina. Jan menempuh pendidikan di sebuah sekolah
yang tak punya kamar mandi di dalamnya. Dengan suhu Ukraina yang
mencapai -20 derajat celcius, para murid harus membelah dingin hanya
untuk pergi ke kamar mandi.
Jan akhirnya mengikuti ibunya pindah
ke Amerika Serikat dan tinggal di sebuah apartemen sempit bantuan
pemerintah di Mountain View. “Amerika adalah tempat impian untuk
mengubah hidup,” aku pria kelahiran 24 Februari 1976 ini. Saat pindah ke
California pada 1992, dia masih berumur 16 tahun.
Tetapi Amerika
tak seindah bayangan Jan sebelumnya. Hidup mereka terkatung-katung.
Untuk memenuhi kebutuhan, ibunya bekerja sebagai baby sitter. Jan
sendiri bekerja di toko kelontong dan mendapat tugas menyapu halaman.
Dalam kondisi yang tak pasti itu, mendadak ibunya terserang kanker dan
tak lagi bisa bekerja.
Akhirnya mereka sepenuhnya hidup bergantung
pada tunjangan sosial untuk bertahan hidup. Janlah yang selalu
menukarkan kupon untuk ditukar dengan makanan. “Tiga tahun pertama di
Amerika, saya bahkan tak punya komputer,” kisah dia.
Belajar dari Buku Bekas
Hidup
di Amerika mengajarkan agar Jan mau bekerja keras dan melakukan apa
saja untuk bertahan hidup. Dia benar-benar belajar mandiri untuk
melanjutkan pendidikannya. Setumpuk buku-buku bekas selalu menemaninya
belajar. Bahkan, dia mendapatkan ilmu tentang komputer jaringan dan
pemrograman dari buku-buku bekas itu. Jan sempat pula bergabung dengan
grup hacker dan sempat chating dengan pendiri Napster, Sean Fanning.
Selulus
SMA, Jan melanjutkan pendidikannya di San Jose University. Untuk
membiayai pendidikan dan kehidupan sehari-hari, dia bekerja sambilan
sebagai pengetes keamanan di Ernst & Young. Pada 1997, dia
berkenalan dengan Brian Action, pegawai Yahoo. Berkat bantuan Brian
pula, Jan bisa bekerja di Yahoo sebagai Infrastructure Engineer. Dua
minggu setelah bekerja di Yahoo, dia memutuskan berhenti kuliah, karena
tak ada lagi biaya. Tiga tahun kemudian, ibunya meninggal dunia. Praktis
Jan hidup sebatang kara.
Keduanya adalah anak muda yang
cemerlang. Keinginannya untuk berkembang dan mengubah hidup begitu
menderu. Di Yahoo, Jan sudah stuck dan tak lagi merasakan tantangan.
Alhasil, bersama Brian, dia memutuskan keluar dan melamar pekerjaan ke
Facebook. “Kami ditolak dan menjadi bagian dari reject club,” kata Jan
tertawa.
Akuisisi WhatsApp
Tahun 2009,
mereka membuat WhatsApp yang merupakan program instant messaging.
Program ini memungkinkan orang bertukar pesan, foto atau file lainnya
melalui paket data internet. Mereka mendapat pendanaan sebesar US$ 250
ribu dari sesama mantan pegawai Yahoo. Hanya dalam tempo singkat,
WhatsApp menyalib kepopuleran Facebook dan menjadi aplikasi mobile
messaging yang paling banyak digunakan, dengan 500 juta pengguna aktif
per bulan.
Awalnya, WhatsApp dibuat untuk pengguna iPhone,
kemudian seiring dengan perkembangannya, aplikasi WhatsApp tersedia juga
untuk versi BlackBerry, Android, Windows Phone, dan Symbian. Baik Brian
maupun Jan terus berpikir untuk mengembangkan produknya menjadi sesuatu
yang punya nilai.
Toh, meski WhatsApp digandrungi, kenyataannya
tak mengubah kehidupan Jan. Dia bahkan tak punya sepeser uang pun di
rekeningnya di bank. WhatsApp mengalami kondisi finansial yang
mengkhawatirkan. Kantor mereka kurang representatif dengan meja kerja
murahan. Maklum, karena mereka tak pernah memberikan space iklan pada
aplikasinya. Mereka hanya mengutip biaya US$ 0,99 dolar untuk pengunduh.
Lalu
semuanya berubah. Ketika Facebook menaruh minat yang cukup tinggi
terhadap WhatsApp. Akuisisi itu laksana sebuah keajaiban bagi Jan.
Akuisisi ini membuat Jan memiliki kekayaan di atas kertas senilai US$
6,8 miliar. Ia kaya mendadak. Dengan pembelian ini, US$ 1,9 miliar akan
diterima Jan berupa uang tunai. Sisanya diterima dalam bentuk
kepemilikan saham.
Ketika dia akhirnya menandatangani kesepakatan
akuisisi yang disodorkan Facebook, itu dilakukan di dekat kantor layanan
sosial, tempat dia pernah menukar kupon untuk mendapatkan jatah
makanan. Di juga melakukan ritual yang mengharukan dengan mendatangi
tempat pertama kali dia tinggal dan setiap pagi harus antre untuk
mendapatkan jatah makanan. “Saya menangis mengenang masa-masa tak punya
uang,” ucapnya seraya menyandarkan kepalanya di dinding.
Jan pun
mengenang ibunya. Sungguh, dia merasa pilu karena dia tak pernah bisa
mengabarkan berita bahagia ini. Dia menyesal karena ibunya tak bisa
merasakan kesuksesan anaknya. Kini, dia telah memiliki uang banyak dan
dia bisa berbuat apa saja. Namun, Jan tetap memilih hidup sederhana dan
memilih fokus pekerjaannya. [inilah.com]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Jan Koum Dari Susah Sampai Dibeli Facebook U$ 19 Miliar"
Posting Komentar
Komentar Anda Bukanlah Tanggung Jawab Kami