ISIS dan 'Propaganda' Menunda Kebangkrutan Amerika Part 2

Sambungan artikel PERTAMA



Oleh: Muh. Nurhidayat



Berdasarkan pendapat Amalo, maka para wartawan televisi dapat ditanya, mengapa mereka tidak kembali mengarahkan ‘instring’ jurnalistiknya kepada CIA ataupun pemerintah AS sendiri sebagai the invisible hand dalam kasus bom Thamrin?

Sangat masuk akal menduga lembaga intelijen yang berkantor pusat di Langley, AS sebagai dalang teror awal 2016 itu. Sebab sejak Yunani dinyatakan bangkrut karena tidak mampu membayar hutangnya kepada Uni Eropa pada medio 2015, para ekonom dunia memprediksi negara yang paling berpotensi menjadi ‘Yunani’ berikutnya adalah AS.

VOA tahun 2015 lalu memberitakan keresahan masyarakat AS atas terlalu besarnya hutang negaranya yang mencapai USD 19,6 trilyun atau Rp 181.000 trilyun. Hutang ini melebihi GNP negara tersebut. Apalagi diketahui, pemberi pinjaman terbesar (sekitar USD 1,27 trilyun) kepada AS adalah Cina, yang dianggap sebagai calon negara adidaya pengganti AS. Dan yang paling membuat khawatir, AS diramalkan juga gagal membayar jaminan asuransi kesehatan dan asuransi pensiun warganya sendiri yang mencapai sekitar Rp 100 ribu trilyun.

AS sangat takut untuk di-Yunani-kan. Selain pemerintah, para pengusaha trans-nasional atau berskala global pun juga was-was jika negara Paman Obama itu mengalami kebangkrutan dalam waktu dekat ini. Sebab kebangkrutan AS akan berdampak pula bagi besarnya kerugian investasi yang telah ditanamkan para kapitalis global tersebut. Maka terjalinlah simbiosis mutualisme antara pemerintahan Obama dengan para pelaku globalisasi ekonomi itu untuk ‘menunda’ masa kebangkrutan AS.

Cara terbaik ‘menunda’ detik-detik kepailitan AS sebagai ‘pemelihara’ globalisasi ekonomi adalah dengan memanfaatkan isu terorisme. Jauh-jauh hari, penggagas teori ekonomi politik komunikasi, Vincent Mosco (2009) telah mengingatkan, bahwa globalisasi adalah pusat yang mendorong terjadinya konflik di dunia. Untuk memperkokoh globalisasi, maka terorisme telah diam-diam ‘dimanfaatkan’. Bahkan terorisme juga diwujudkan sebagai pendukung terkuat—bagi eksistensi—globalisasi.

Parahnya, para konlomerat trans-nasional penikmat globalisasi dan banyak berinvestasi di AS, ternyata juga sebagai pemilik jaringan media global. Sepert Rupert Murdoch yang memiliki Fox, jaringan televisi terbesar ke-4 di AS. Murdoch yang memiliki jaringan media di Australia, AS, dan Inggris, bahkan menguasai layanan penyiaran langsung satelit terbesar dunia di bawah bendera British Sky Broadcasting. (Golding & Murdock, 2009)

Dengaan demikian, kuat dugaan bahwa negara ‘kelahiraan’ Donald Bebek itu menjadikan ISIS sebagai alat propaganda dengan melakukan teror berdarah di Paris (2015) dan Jakarta (2016). Tujuannya adalah untuk mengalihkan isu dunia dari isu akan di-Yunani-kannya AS, menjadi isu terorisme ISIS. Kelompok pimpinan Al Baghdadi kini menjadi ‘laris’ dipakai sebagai pengalih isu karena jaringan teroris bentukan AS sebelumnya, Al Qaeda dianggap tidak ‘laku’ lagi.

Sehingga ada perbedaan penampilan pelaku terorisme. Di masa ‘larisnya’ Al Qaeda, pelaku terorisnya diminta berpenampilan ‘Islami’ (berjenggot, bercelana tidak isbal, serta beristrikan perempuan berjilbab besar bahkan bercadar). Namun kini isu terorisme dengan pelaku berpenampilan Islami tersebut sudah tidak dipercaya masyarakat. Sebab masyarakat sudah paham bahwa tidak mungkin orang yang agamanya bener, apalagi berpenampilan Islami (berjenggot, berbaju koko, berpeci bundar, bercelana tidak isbal, serta beristrikan perempuan berjilbab besar bahkan bercadar) tega meneror orang banyak dengan bom.

Maka kuat dugaan AS sadar bahwa pada aksi terorisme di Paris (2015) dan Jakarta (2016), pelakunya perlu diganti ‘seragamnya’ menjadi berpenampilan keren ala Amerika (bertopi, berkaos, bercelana jins, serta memakai sepatu kain). Namanya pun diganti menjadi ‘ISIS’.

Mengingat jaringan media internasional juga dikuasai para kapitalis seperti Murdoch, Soros, serta Rotschild, maka aksi yang membunuh banyak orang di Paris dan Jakarta pun dengan mudah diliput secara besar-besaran, termasuk oleh televisi komersial mainstream di Indonesia, yang dimodali trio kapitalis media (Murdoch, Soros, serta Rotschild).

Jadi, jika wartawan televisi sedikit pinter, seharusnya mau melakukan investigasi, untuk mengungkap ‘berita’ di balik berita terorisme yang mengguncang Paris (2015) dan Jakarta (2016). Sebab, selain propaganda pengalihan isu demi ‘menunda’ masa kebangkrutan AS, mungkin ada isu spesifik lainnya yang perlu dicari wartawan televisi. Bukankah sebagian besar wartawan televisi di Indonesia adalah penganut Islam? Padahal Islam sendiri yang telah memberikan bimbingan bagaimana bersikap dalam menerima informasi, “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan(mu), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. 49 : 6)

Namun demikian, jika ada wartawan layar kaca yang sudah merasa pinter, dan tahu bahawa berita yang disampaikannya adalah pengalihan isu dengan merugikan citra Islam, bahkan membahayakan kaum Muslimin, maka sebaiknya tidak terlibat menyebarkan berita itu. Sebab jika ada wartawan televisi yang sadar bahwa dia terlibat dalam penyebarluasan berita yang membahayakan Islam dan kaum Muslimin, maka cukuplah sebuah ayat suci Al Qur’an menjadi pengingat, “Sungguh, orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, lalu mereka tidak bertaubat, maka mereka akan mndapat azab jahanam dan mereka akana mendapat azab (neraka) yang membakar.” (QS. 85 : 10).  Wallahua’lam.*

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

0 Response to "ISIS dan 'Propaganda' Menunda Kebangkrutan Amerika Part 2"

Posting Komentar

Komentar Anda Bukanlah Tanggung Jawab Kami