ISIS dan 'Propaganda' Menunda Kebangkrutan Amerika Part 1

LEDAKAN yang mengguncang Jakarta pada Kamis (14/1/2016) lalu menyisakan polemik panjang di kalangan netizen Indonesia. Sebelumnya polisi memperoleh pujian di media sosial (medsos), karena dianggap mampu menumpas—bahkan membunuh–semua tersangka dalam waktu sangat cepat. Malah beredarnya rekaman dan foto-foto seorang polisi tampan dengan pakaian keren (baca: bermerek terkenal dan mahal), yang ikut serta baku tembak melawan tersangka, telah membuat banyak netizen perempuan jatuh cinta kepadanya.

Namun demikian, belum genap sepekan setelah kejadian, banyak netizen mulai meragukan polisi. Sebab beredar puluhan slide foto kronologis hasil ‘bidikan’ wartawan situs berita mainstream, yang secara jelas menunjukkan bahwa aksi terorisme awal 2016 itu dianggap lebih mirip simulasi penanganan kerusuhan, seperti yang dipertunjukkan pada perayaan ulangtahun polisi. Apalagi sebelumnya, sejumlah pengamat intelijen dari perguruan tinggi, bahkan dari Kompolnas sendiri, telah menyampaikan analisisnya, bahwa kasus tersebut sarat kejanggalan.

Selain itu, tuduhan ‘terburu-buru’ polisi yang menyatakan bahwa pelaku teror awal 2016 adalah ISIS, diterima ‘mentah-mentah’ oleh para wartawan televisi. Bahkan awak berita layar kaca pun secara ‘tergesa-gesa’ pula melaporkan kepada khalayak, tanpa ada upaya untuk cek dan ricek sedikit pun.
Padahal, cek dan ricek adalah sikap yang harus dimiliki wartawan. Setiap informasi yang diterimanya dari satu pihak (penuduh), akan selalu di ceck dan riceck, sehingga memenuhi azas berimbang (cover both sides). Dengan demikian, wartawan selalu meminta klarifikasi dari pihak lainnya (tertuduh), sebelum melaporkan beritanya kepada khalayak.

Azas berimbang inilah yang hampir tidak pernah dipenuhi televisi dalam setiap melaporkan berita terorisme di Indonesia. Televisi swasta telah menjadi semacam media ing-griya (media internal) yang dikelola humas polisi. Seperti dipaparkan dalam tulisan sebelumnya berjudul Berita Terorisme dan McDonaldisasi Televisi, wartawan berita layar kaca seakan tidak punya hasrat untuk melakukan investigasi, karena lebih senang mengandalkan press release maupun press conference dari polisi.

Selama ini media massa mainstream, terutama televisi selalu melaporkan ISIS sebagai kelompok yang ‘bangga’ menegakkan khilafah Islamiyah dan menerapkan syariat Islam. Padahal dengan sepak terjangnya yang ‘bangga’ berlaku brutal dan sangat tidak Islami, kelompok pimpinan Abdurrahman Al Baghdadi ini telah merusak nama baik agama yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Akibatnya, sebagian khalayak (Muslim maupun non-Muslim) pun menjadi takut. Bukan hanya takut kepada ISIS saja, tetapi juga merasa ngeri mendengar istilah ‘khilafah Islamiyah’ maupun ‘syariat Islam’.

Mantan pakar komunikasi massa Universitas Hasanuddin, Sinansari Ecip (1999) mensyaratkan wartawan harus mampu menjalankan investigasi, sehingga selain memiliki keterampilan jurnalistik, wartawan juga perlu menguasai dasar-dasar ilmu lainnya seperti ekonomi, politik, dan sejarah.

Dengan demikian, seperti dikatakan Ecip, jika ingin memberitakan kasus ISIS, wartawan pun harus menguasai dasar-dasar ilmu agama maupun sejarah Islam. Dengan bekal pemahaman kedua ilmu tersebut, maka wartawan akan mendapat gambaran tentang ‘sosok’ ISIS yang sebenarnya.

Wartawan, terutama dari televisi swasta akan tahu apakah kelompok yang dipimpin Al Baghdadi itu sesuai atau tidak dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Sungguh patut disayangkan, di Indonesia ini mayoritas reporter televisinya ber-KTP Islam, namun mereka seakan tidak paham dengan dasar-dasar ajaran agamanya sendiri. Betapa memprihatinkannya, siaran berita layar kaca negeri ini dipenuhi oleh stereotype, prejudice, serta trial by the press terhadap Islam, agama mayoritas wartawan dan pemirsa televisi itu sendiri.

Peneliti kebijakan media, Suryani Musi (2014) memandang stereotipe (yang awalnya berupa asumsi yang salah dari seseorang kepada komunitas lain di luar kelompok orang tersebut), pada akhirnya bisa berubah menjadi prejudice (yang diwujudkan dalam bentuk kebencian kepada komunitas tersebut), jika dipicu oleh (pemberitaan) media massa.

Pendapat Musi didukung oleh Samovar (2009), yang menegaskan bahwa zaman sekarang media massa telah menjadi sumber ‘pembelajaran’ yang dominan dalam menanamkan nilai stereotipe seseorang kepada kelompok lain. Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Formas Juitan Lase (2014) juga berkomentar, bahwa kejahatan atau kriminalitas yang diidentikkan dengan kelompok (etnis, ras, agama) tertentu memberikan penegasan bahwa media memiliki kekuasaan untuk membingkai sebuah isu tertentu.

Nah, ketika media telah memberitakan kasus ISIS yang bercampur, berarti media telah melakukan trial by the press melalui ‘bingkai’ libeling (pemberian julukan buruk) bahwa agama Islam ataupun kaum Muslimin ‘bangga’ dengan terorisme dan kekerasan.

AS takut di-Yunani-kan

Peneliti kebijakan media, FP. Amalo (2014) menyatakan, jika wartawan televisi mainstream, memiliki ‘kecerdasan’ yang lebih baik, maka mereka akan dengan mudah melihat atau mengetahui siapa yang menjadi the invisible hand dalam setiap kasus terorisme yang melanda berbagai negara, khususnya Indonesia. Amalo (2014) yang penganut Kristiani, mencontohkan bagaimana CIA menjadi the invisible hand dalam kasus Bom Bali I (2002) dan Bom Bali II (2005). Dengan bertujuan mempertahankan hegemoni ekonomi politik AS di Indonesia, CIA mengorbankan citra Islam dengan ‘merekrut’ sejumlah orang Muslim lokal yang nggak pinter dalam memahami ajaran agamanya, untuk berbuat teror yang mengorbankan banyak jiwa.* (bersambung)

Penulis dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

0 Response to "ISIS dan 'Propaganda' Menunda Kebangkrutan Amerika Part 1"

Posting Komentar

Komentar Anda Bukanlah Tanggung Jawab Kami